Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd ISO 9001:2015 \x2013 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.

Jakarta Tenggelam, Warga Pulau Pari Masih Antre Air Bersih

14 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
jakarta tengelam
Iklan

Karena sebuah kota megapolitan yang benar-benar maju bukan yang bisa membangun gedung tertinggi, tapi yang bisa memberi minum kepada warganya.

Oleh Bambang RIYADI


Saat Jakarta diguyur hujan deras, warganya bersiap untuk banjir. Pompa dinyalakan, tanggul dicek, sandbag disusun. Di gedung-gedung tinggi, para penghuni menatap genangan dari balik kaca tebal, sambil mengeluhkan kemacetan dan kerusakan mobil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi di Pulau Pari, Kepulauan Seribu — hanya 90 kilometer ke utara — air hujan adalah harapan. Setiap tetes yang turun ditampung dengan cermat dalam bak penampungan plastik, terpal bekas, atau drum bekas cat. “Kalau hujan semalam, kami bisa hemat air sampai tiga hari,” kata Bu Siti, warga setempat, sambil menunjukkan jerigen karatan yang baru saja penuh.

Ironi ini tak bisa diabaikan: di saat Jakarta tenggelam oleh air, warga kepulauan justru mati haus karena kekurangan air bersih.

Ini bukan sekadar ketimpangan infrastruktur. Ini adalah cermin dari tata kelola lingkungan dan sumber daya yang timpang, di mana ibu kota diperlakukan sebagai pusat segalanya, sementara wilayah marjinal seperti Kepulauan Seribu dibiarkan bertahan dengan cara apa pun.


Angka yang Mencengangkan: Ibu Kota Basah, Kepulauan Kering

Data Kementerian PUPR (2025) mencatat, curah hujan tahunan di Jakarta mencapai 2.000–3.000 mm per tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan jutaan orang. Namun, karena betonisasi masif dan rusaknya sistem resapan, 70% air hujan langsung menjadi limpasan — menyebabkan banjir, bukan sumber kehidupan.

Di sisi lain, Kepulauan Seribu, yang terdiri dari 110 pulau kecil, memiliki curah hujan serupa. Tapi karena keterbatasan luas daratan, tidak adanya sungai, dan minimnya infrastruktur tampungan, air bersih menjadi barang langka.

Berdasarkan survei Dinas Lingkungan Hidup DKI 2024:

  • Hanya 32% rumah tangga di Kepulauan Seribu yang memiliki akses ke air bersih layak minum.
  • 68% bergantung pada sumur gali atau penampungan hujan, yang rentan terkontaminasi air laut dan bakteri.
  • 23% warga harus antre ke mobil tangki PD PAL Jaya yang datang seminggu sekali — jika cuaca memungkinkan.

“Kalau laut pasang tinggi atau ombak besar, kapal tidak bisa datang. Kami bisa kehabisan air selama berhari-hari,” ujar Pak Jono, nelayan asal Pulau Tidung.


Isu Hangat: Saat Reklamasi Berlimpah Air, Pulau Alami Kehausan

Ironi semakin tajam ketika kita melihat proyek-proyek reklamasi raksasa di Teluk Jakarta. Pulau-pulau artifisial seperti C dan G, yang dibangun untuk kawasan elit dan properti mewah, dilengkapi dengan sistem water treatment, saluran bawah laut, dan bahkan kolam renang infinity yang menghadap ke laut.

Namun, pulau-pulau alami seperti Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Ayer, yang dihuni oleh nelayan dan petani rumput laut, masih hidup tanpa jaringan pipa tetap, tanpa instalasi pengolahan air, dan tanpa prioritas dari pemerintah daerah.

Padahal, penduduk Kepulauan Seribu adalah warga negara Indonesia yang sah, membayar pajak, menggunakan KTP DKI Jakarta, dan memiliki hak yang sama atas pelayanan dasar.

Kenapa mereka harus rela antre air, sementara di seberang lautan, air mengalir deras untuk kolam renang dan taman buatan?


Cerita dari Dermaga: Ketika Anak-Anak Sekolah Tanpa Mandi

Di SDN 01 Pulau Pari, guru harus memaklumi murid yang datang ke sekolah dengan baju bau apek. “Beberapa anak tidak bisa mandi pagi karena air habis. Mereka pakai air sumur untuk minum dan masak, bukan untuk mandi,” kata Bu Lina, guru kelas 4.

Untuk mandi, banyak warga harus menunggu malam hari, saat kapal tangki tiba. Mereka antre, kadang sampai dua jam, hanya untuk mendapat jatah 200 liter per KK — yang harus cukup untuk satu minggu.

“Anak-anak sering sakit kulit dan infeksi saluran pencernaan. Dokter bilang karena airnya terkontaminasi,” tambahnya.

WHO telah lama menyatakan bahwa air bersih adalah hak asasi manusia. Tapi bagi warga Pulau Pari, hak itu terasa seperti kemewahan yang tak terjangkau.


Solusi yang Sudah Ada, Tapi Belum Sampai

Beberapa solusi teknologi sebenarnya sudah tersedia dan bahkan diuji coba di lokasi serupa:

  1. Instalasi Pengolahan Air Laut (RO - Reverse Osmosis)
    Beberapa LSM telah membangun unit RO kecil di Pulau Tidung. Hasilnya: air bersih yang aman diminum, diproduksi dari air laut. Tapi tanpa dukungan anggaran pemerintah, operasionalnya sering terhenti karena biaya listrik dan perawatan.

  2. Rainwater Harvesting Skala Komunitas
    Atap sekolah, balai desa, dan masjid bisa dimanfaatkan sebagai penampung air hujan. Dengan filter sederhana, air ini bisa digunakan untuk mandi dan mencuci. Proyek serupa sukses di NTT dan Maluku.

  3. Kapal Tangki Digital
    Buat sistem pemesanan air bersih via aplikasi, dengan jadwal pasti dan pemantauan real-time. Seperti pesan ojek online, tapi untuk air.

  4. Integrasi ke Jaringan Utama
    Bangun pipa bawah laut dari Jakarta ke pulau-pulau strategis, seperti yang dilakukan Singapura ke pulau-pulau satelitnya.


Penutup: Jakarta Harus Belajar dari Kepulauannya

Ketika Jakarta terus tenggelam, penyebabnya bukan hanya karena naiknya permukaan laut. Tapi karena ketidakmampuan kita mengelola air secara bijak.

Sebaliknya, di Kepulauan Seribu, warga belajar hidup hemat air sejak kecil. Mereka tahu nilai setiap tetes. Mereka tidak menyia-nyiakan hujan. Mereka menjaga lingkungan karena nyawa mereka bergantung padanya.

Justru merekalah yang harus menjadi guru bagi Jakarta.

Kita tidak butuh lebih banyak pulau reklamasi yang boros air. Kita butuh sistem tata kelola sumber daya yang adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Karena sebuah kota megapolitan yang benar-benar maju bukan yang bisa membangun gedung tertinggi, tapi yang bisa memberi minum kepada seluruh warganya — dari Senayan hingga Pulau Pari.

Dan sampai itu terjadi, Jakarta akan terus tenggelam — bukan hanya oleh air, tapi oleh ketidakadilan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler